LOGIKA
Asal muasal kata
“logika” adalah kata logos, logike, logica, logique, dan logic. Dua kata yang
pertama berasal dari bahasa Yunani. Yang pertama berarti kata, ide, akal. Yang
kedua berarti seni berpikir. Tiga kata berikutnya berarti sama dengan kata
kedua. Hanya saja, kata ketiga berasal dari bahasa Latin, kata keempat berasal
dari bahasa Prancis, dan kata terakhir berasal dari bahasa Inggris.
·
Dalam literatur logika, definisi leksikal atas
logika itu selaras dengan definisi Jevons, Gamut dan Mendelson. Seperti dikutip
oleh Nicholas J.J.Smith, Jevons, dan Gamut mendefinisikan logika sebagai “ilmu
yang terkait dengan cara menghasilkan pemikiran. Cara itu pada pada satu sisi
dipelajari, di sisi lain dikritisi jika telah mewujud dalam bentuk
pemikiran.
·
Logika formal dibahas untuk membuat dan mengurai
pemikiran yang bentuknya shahih. Logika Material dikaji untuk membuat dan
mengurai pemikiran yang isinya benar. Sejatinya, logika tidak hanya dua jenis.
Ada beragam jenis logika bila dilihat dari sudut perolehannya, zaman timbulnya,
bentuk dan isi argumennya, dan proses penyimpulannya.
·
Secara perolehan pengetahuan, logika terbagi
dua: logika alamiah dan logika ilmiah. Logika alamiah bersumber dari akal sehat
yang dimiliki secara kodrati oleh setiap manusia sebagai makhluk rasional untuk
menghadapi hal-hal keseharian yang bersifat rutin dan sepele. Semua orang yang
waras pikirannya, tanpa terkecuali, memiliki logika alamiah. Mereka semua dapat
berpikir, tapi tidak semua dari mereka dapat berpikir dengan tepat dan benar.
Karena itu diperlukan metode berpikir yang tepat dan benar, yang disebut dengan
logika ilmiah, yaitu jenis logika yang dimiliki manusia dengan mempelajari dan
menerapkan prinsip-prinsip, norma-norma, teknik-teknik dan hukum-hukum
penalaran untuk mendapatkan ketepatan penalaran yang dapat
dipertanggungjawabkan.
Semua orang bisa
berkomunikasi, tapi tidak semua komunikasi bernilai logis. Sejauh komunikasi
nonlogis dapat menimbulkan pernyataan keliru dan kesalahpahaman, komunikasi
sangat membutuhkan logika.
Komunikasi dan Logika
Aristotle
(384-322 SM), bapak retorika, mendefinisikan retorika sebagai “the faculty of
observing in any given case the available means of persuasion”. Retorika adalah
kemampuan meninjau sarana yang dapat digunakan untuk membujuk dalam berbagai
keadaan. Kemampuan itu hadir terutama sekali karena proses belajar secara
sengaja, baik melalui proses pengamatan, pembacaan, pemberitahuan atau
pengalaman diri dan orang lain. Melalui pembelajaran, Aristotle mencapai suatu
kesimpulan bahwa model-model bujukan ada yang bersifat teknis ada pula yang
nontkenis.
Keberhasilan
membujuk orang lain ditopang oleh faktor eksternal dan faktor internal
komunikator. Aristotle menyebut faktor eksternal itu sebagai model bujukan
nonteknis. Misalnya, saksi, bukti, dan dokumentasi yang memungkinkan
komunikator membujuk komunikan dengan mudah. Faktor internal yang
mengefektifkan bujukan disebut oleh Aristotle dengan istilah model bujukan
teknis. Komunikator perlu mencari cara untuk membujuk komunikan dengan panduan
prinsip-prinsip retorika.
Dari Logika untuk
Komunikasi
Tak ada seorang
pun yang dapat berbicara dengan tertib tanpa proses berpikir tertib. Tak ada
pula orang yang bisa menulis secara sistematis tanpa pikiran sistemetis. Secara
praktis, logika dapat membantu orang dalam bicara dan menulis secara tertata
rapih. Logika merupakan metode membuat dan mengurai pemikiran secara shahih dan
benar.
Ujaran dan
tulisan yang semacam itu diperlukan betul oleh komunikasi, terutama komunikasi
verbal. Komunikasi verbal dituntut untuk berbicara secara rasional dan faktual.
Tuntuan itu dapat dipenuhi jika komunikator berpikiran koheren dan koreponsen.
Logika membentuk koherensi pemikiran melalui logika material. Di situlah titik
pentingnya filsafat bagi poetika dan retorika dalam paideia.
Yang dimaksud
dengan paideia adalah seni berpikir yang menyatukan filsafat, poetika, dan
retorika. Dalam paideia, filsafat yang identik dengan pemikiran, menopang
retorika dan poetika yan identik dengan ujaran dan tulisan. Komunikasi,
khususnya yang verbal, berporos pada ujaran dan tulisan yang tidak akan jelas
tanpa pemikiran yang jelas. Logika, di pihak lain, mengarahkan pikiran menjadi
jelas. Di titik itu, logika memang dibutuhkan oleh komunikasi.